Rss

Minggu, 24 Januari 2016

Makalah Sejarah Pendidikan Islam" Islam Di Indonesia( Kondisi Dan Situasi Politik Kerajaan)"


BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah batas Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual pada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.

Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abd I H), ketika islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Malaka, jauh ditaklukkan portugis (1511), merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Masuknya islam kedaerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Di samping itu, keadaan politik dan sosial budaya daerah-daerah ketika didatangi islam juga berlainan.

Pada abad ke-7 sampai ke-10 M, kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya kedaerah Semenanjung Malaka sampai Kedah. Hal itu erat hubungannya dengan usaha penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan internasional. Datangnya orang-orang muslim ke daerah itu sama sekali belum memperlihatkan dampak-dampak politik, karena mereka datang memang hanya untuk usaha pelayaran dan perdagangan. Keterlibatan orang-orang islam dalam bidang politik baru terlihat pada abad ke-9 M, ketika mereka terlibat dalam pemberontakan petani-petani Cina terhadap kekuasaan T’ang pada masa pemerintahan  Kaisar Hi-Tsung (878-889 M). Akibat pemberontakan itu, kaum musimin banyak dibunuh. Sebagian lainnya lari ke Kedah, wilayah yang masuk kekuasaan Sriwijaya, bahkan ada yang ke Palembang dan membuat perkampungan muslim di sini.

Pembaruan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu, yang terpenting puritanis (salafiyyah).

 

B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yaitu:

1.      Bagaimana kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan di Indonesia?

2.      Bagaimana saluran dan cara-cara islamisasi di Indonesia?

3.      Bagaimana perbedaan zaman modern dan kontemporer?

 

C.      Tujuan Pembahasan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan yaitu:

1.      Untuk mengetahui kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan di Indonesia.

2.      Untuk mengetahui saluran dan cara-cara islamisasi di Indonesia.

3.      Untuk mengetahui perbedaan zaman modern dan kontemporer.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Kondisi Dan Situasi Politik Kerajaan-Kerajaan Di Indonesia

Cikal bakal kekuasaan islam telah dirintis pada periode abad 1-5 H/7-8 M, tetapi semuanya tenggelam dalam hegemoni maritin Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur. Pada periode ini para pedagang dan mubalig muslim membentuk komunitas-komunitas islam. Mereka memperkenalkan islam yang mengajarkan toleransi dan persamaan derajat  diantara sesame, sementara ajaran Hindu-Jawa menekankan perbedaan derajat manusia.

Masuknya islam kedaerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Di samping itu, keadaan politik dan sosial budaya daerah-daerah ketika didatangi islam juga berlainan. Pada abad ke-7 sampai ke-10 M, kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya kedaerah Semenanjung Malaka sampai Kedah. Hal itu erat hubungannya dengan usaha penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan internasional. Datangnya orang-orang muslim ke daerah itu sama sekali belum memperlihatkan dampak-dampak politik, karena mereka datang memang hanya untuk usaha pelayaran dan perdagangan. Keterlibatan orang-orang islam dalam bidang politik baru terlihat pada abad ke-9 M, ketika mereka terlibat dalam pemberontakan petani-petani Cina terhadap kekuasaan T’ang pada masa pemerintahan  Kaisar Hi-Tsung (878-889 M). Akibat pemberontakan itu, kaum musimin banyak dibunuh. Sebagian lainnya lari ke Kedah, wilayah yang masuk kekuasaan Sriwijaya, bahkan ada yang ke Palembang dan membuat perkampungan muslim di sini. Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu memang melindungi orang-orang muslim di wilayah kekuasaannya.[1]

Kemajuan politik dan ekonomi Sriwijaya berlangsung sampai abad ke 12 M. pada akhir abad ke-12 M, kerajaan ini mulai memasuki masa kemundurannya. Untuk mempertahankan posisi ekonominya, kerajaan Sriwijaya membuat peraturan cukai yang lebih berat bagi kapal-kapal dagang yang singgah ke pelabuhan-pelabuhannya. Akan tetapi usaha itu tidak mendatangkan keuntungan bagi kerajaan, bahkan justru sebaliknya karena kapal-kapal dagang asing seringkali menyingkir. Kemunduran ekonomi ini membawa dampak terhadap perkembangan politik.

Kemunduran politik dan ekonomi Sriwijaya dipercepat oleh usaha-usaha kerajaan Singasari yang sedang bangkit di Jawa. Kerajaan Jawa ini melakukan ekspedisi Pamalayu tahun 1275 M dan berhasil mengalahkan kerajaan Melayu di Sumatera. Keadaan itu mendorong daerah-daerah di Selat Malaka yang dikuasai kerajaan Sriwijaya untuk melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan tersebut.

Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan pula oleh pedagang-pedagang muslim untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung daerah-daerah yang muncul, dan daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan bercorak islam, yaitu kerajaan Samudera Pasai di pesisir Timur Laut Aceh. Daerah ini sudah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M. proses islamisasi tentu berjalan di sana sejak abad tersebut. Kerajaan Samudera Pasai dengan segera berkembang baik dalam bidang politik maupun perdagangan.

Karena kekacauan-kekacauan dalam negeri sendiri akibat perebutan kekuasaan di istana, Kerajaan Singasari, juga pelanjutnya, Majapahit, tidak mampu mengontrol daerah Melayu dan Selat Malaka dengan baik, sehingga kerajaan Samudera Pasai dan malaka dapat berkembang dan mencapai puncak kekuasaannya hingga abad ke-16 M. [2]

Di Kerajaan Majapahit, ketika Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada masih berkuasa, situasi politik dan kerajaan memang tenang, sehingga banyak daerah di kepulauan Nusantara mengakui berada di bawah perlindungnnya. Tetapi sejak Gajah Mada meninggal dunia (1364 M) dan disusul Hayam Wuruk (1389 M), situasi Majapahit kembali mengalami kegoncangan. Perebutan kekuasaan antara Wikramawhardana dan Bhre Wirabumi berlangsung lebih dari sepuluh tahun.

B.       Saluran Dan Cara-Cara Islamisasi Di Indonesia

Kedatangan islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, dilakukan secara damai. Apabila situasi politik suatu kerajaan mengalami kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana, maka islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan itu. Mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang muslim yang posisi ekonominya kuat karena menguasai peayaran dan perdagangan. Apabila kerajaan islam sudah berdiri, penguasanya melancarkan perang terhadap kerajaan non islam. Hal itu bukanlah karena persoalan agama tetapi karena dorongan politis untuk menguasai kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada enam yaitu:

1.      Saluran Perdagangan

Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M. Membuat pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan timur benua Asia.  Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegitan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran islamisasi melalui perdagangan ini di pesisir Pulau Jawa, Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang muslim banyak yang bermukiman di pesisir Pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendiirkan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya.[3]

2.      Saluran Perkawinan

Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, terutama puteri-puteri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin mereka diislamkan lebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya timbul kampong-kampung, daerah-daerah dan kerajan-kerajan muslim. Dalam perkembangn berikutnya, adapula wanita muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan.  Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja atau anak adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ngampel dengan Nyai Manila, Sunang Gunung Jati dengan puteri Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak) dan lain-lain.

3.      Saluran Tasawuf

Pengajar-pengajar tasawuf, atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga yang mengawini puteri-puteri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesian pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Pangggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.

4.      Saluran Pendidikan

Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan guru-guru agama, kiyai-kiyai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu calon utama, guru agama dan kiyai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari  pesantren, mereka pulang ke kampong masing-masing atau berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama islam.

5.      Saluran Kesenian

Saluran islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi didalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat islamisasi, seperti sastera (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan, dan seni ukir.

6.      Saluran Politik

Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.[4]

C.      Perbedaan Zaman Modern dan Kontemporer

I . Gerakan Modern Islam (Asal Usul dan Perkembangan)

Pembaruan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu, yang terpenting puritanis (salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaruan Islam abad ke 20 yang lebih bersifat intelektual. Katalisator terkenal gerakan pembaruan ini adalah Jamaluddin Al Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas PAN Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana secara ilmiah di modernisasi. Gerakan ini telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.

Memasuki abad ke -20 dinamika Islam di Indonesia ditandai dengan muncul dan berkembangnya corak baru wacana dan pemikiran Islam yang biasa disebut banyak ahli sebagai modernisme Islam. Kemunculan corak baru wacana Islam ini tidak terlepas dari perkembangan al Afghani, Muhammad Abdul, Rasyid Ridha dan lain-lain. Pemikiran yang dikembangkan para tokoh-tokoh ini telah memberikan stimulus global bagi kemunculan gerakan modernisme Islam di berbagai kawasan dunia Islam termasuk Indonesia. Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minang Kabau, yang disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti serikat dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Perserikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat dan Solo (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nadlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Bandung, Bukittinggi (1930); dan Partai-partai politik, seperti serikat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938. Sementara itu, hampir pada waktu yang bersamaan, pemerintah penjajah menjalankan politik etis, politik balas budi.

Demikian pula di kalangan Islam hal itu mencerminkan kiprah dan perubahan alam pikiran yang secara dinamis memberikan ide-ide alternatif dalam merespon orientasi politik orde baru yang terkonsepsi dalam pembangunan. Pengembangan ide pokok-pokok “pembangunan” itu identik dengan isumodernisasi dan bahkan dalam beberapa segi lebih diasosiasikan sebagai “proses westernisasi” karena penekanan kuat pada pola atau model pembangunan negara-negara barat. Ide tersebut pada gilirannya mempengaruhi perubahan pemikiran keislaman kaum muslimin. Persoalan yang muncul dikalangan Islam adalah bagaimana melihat ‘modernisasi’ dari kaca mata ajaran Islam. Dari persoalan ini muncul gagasan-gagasan baru, terutama dari kalangan intelektual dan pada gilirannya melahirkan pula model-model baru gerakan keagamaan sebagai reaksi atas isu-isu pembangunan itu.

2. Kecenderungan Wacana Intelektual Islam Kontemporer dalam Lembaga-lembaga Modern.

Formulasi doktrin Islam dan pemikiran modern, yang menjadi ciri wacana Islam kontemporer adalah salah satu dampak signifikan dari arus Islamisasi melalui jaringan intelektual timur tengah-nusantara pada abad ke-17 dan 18, yang ditandai dengan proses harmonisasi antara wacana Islam sufistik dan Islam syari’at. Arus modernisasi ini kemudian memunculkan organisasi-organisasi Islam di abad ke-20, yang sekaligus sering disebut sebagai ciri dari masyarakat Islam modern.

Lahirnya serikat dagang Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan juga Sumatra Thawalib dan sebagainya menjadi wujud dari proses formulasi tersebut. Lahirnya organisasi atau gerakan-gerakan sosial keagamaan, yang pada umumnya memiliki pemikiran-pemikiran transformative, menjadi ciri dari munculnya masyarakat modern, ketika wacana intelektual Islam pun menjadi lebih terbuka dan semakin bercorak plural. Dalam hal ini juga tidak dapat diabaikan, upaya-upaya organisasi tersebut dalam melakukan pembaruan pendidikan. Pendidikan tradisional melalui pesantren yang dulu hanya diselenggarakan dengan sangat sederhana, kurang sistematis dan hanya mempelajari ilmu-ilmu agama Islam saja kemudian diperbaharui dengan cara mengembangkan pendidikan sekolah atau madrasah yang didalamnya diajarkan mengenai ilmu-ilmu dunia yakni ilmu alam dan ilmu sosial. Di samping itu, sejak dekade 1970-an, banyak bermunculan apa yang disebut intelektual muda muslim yang meskipun sering kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan ummat. Kebanyakan mereka adalah intelektual muslim berpendidikan yang terakhir ini sangat mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa Islam seperti himpunan mahasiswa Islam, pergerakan mahasiswa Islam Indonesia, ikatan mahasiswa Muhammadiyah dan sebagainya. Selain itu, peranan dari departemen agama yang telah banyak berjasa dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam, tidak boleh dilupakan. Dengan mendirikan beberapa institut-institut Islam, Jepang sangat berjasa dalam menyiapkan guru-guru agama, pendakwah dan mubaliq dalam kuantitas besar. Bahkan departemen agama tutur berperan dalam memnbina madrasah dan pesantren-pesantren yang ada diseluruh wilayah nusantara ini.

Dari beberapa insititusi atau organisasi massa Islam yang masih eksis hingga saat ini, seperti Persis, Al Irsyad, Jami’at Khair, dan beberapa nama di luar jawa, seperti Nahdlatul Wathan, Sumatera Thawali, dan lain-lain, nampaknya hingga saat ini Muhammadiyah dan Nahdlatul ulama, lebih banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ini juga tidak lepas dari seringnya dua ormas tersebut diwacanakan dalam berbagai kajian ilmiah, baik oleh ilmuwan lokal maupun internasional selain itu dua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut juga memiliki struktur kepemimpinan yang sangat hierarkis dari tingkat pusat di ibukota hingga ketingkat ranting di kelurahan-kelurahan Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, harus diakui pola peran dari organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok keagamaan Islam yang juga aktif menyelenggarakan kajian-kajian, hanya saja menurut sebagian orang mereka lebih sering memunculkan tema-team yang lebih bersifat politis, bukan kajian murni yang bersifat ilmiah dan secara umum dianggap tidak memformulasikan pemikiran-pemikiran transformative dalam menghadapi persoalan-persoalan aktual, sehingga pemikiran-pemikiran mereka cenderung dianggap sebagai wacana periforal.[5]

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.      Simpulan

Adapun simpulan dari pembahasan ini yaitu:

1.      Cikal bakal kekuasaan islam telah dirintis pada periode abad 1-5 H/7-8 M, tetapi semuanya tenggelam dalam hegemoni maritin Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur.

2.      Kedatangan islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, dilakukan secara damai. Adapun saluran islamisasi yang berkembang yaitu saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.

3.      Gerakan Modern Islam (Asal Usul dan Perkembangan)

Pembaruan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya.

Kecenderungan Wacana Intelektual Islam Kontemporer dalam Lembaga-   lembaga Modern.

Formulasi doktrin Islam dan pemikiran modern, yang menjadi ciri wacana Islam kontemporer adalah salah satu dampak signifikan dari arus Islamisasi melalui jaringan intelektual timur tengah-nusantara pada abad ke-17 dan 18, yang ditandai dengan proses harmonisasi antara wacana Islam sufistik dan Islam syari’at

B.       Saran

Pembahasan mengenai Islam di Indonesia dalam makalah ini yang telah dipaparkan di atas, penyusun sadar bahwa masih terdapat kesalahan dan kekurangan didalamnya, karena berbagai faktor yang bisa menyebabkan hal tersebut bisa terjadi. Untuk bisa mengetahui letak kesalahan dan kekurangan tersebut diharapkan kepada para pembaca untuk memberikan saran dan kritiknya, agar dapat menutupi kekurangan dan meminimalisir kesalahan lagi dalam penulisan selanjutnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. XIV; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

 


 



[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. XIV; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h.194
 
[2] Ibid, h.195
[3] Ibid, h.201
[4] Ibid, h.203

0 komentar:

Posting Komentar

Movies

Movies Post

Diberdayakan oleh Blogger.

Sports

Music

Business

Games

Video

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Kategori

Movies

News

Latest News

Recent Post