BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejak
zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar
yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada
rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai
daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah batas Nusantara dan sekitar Malaka
sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena
hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah
lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang
berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual
pada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara
abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh),
Barus dan Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Pedagang-pedagang
muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia
untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abd I H), ketika islam pertama kali
berkembang di Timur Tengah. Malaka, jauh ditaklukkan portugis (1511), merupakan
pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Masuknya islam
kedaerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Di samping itu,
keadaan politik dan sosial budaya daerah-daerah ketika didatangi islam juga
berlainan.
Pada
abad ke-7 sampai ke-10 M, kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya kedaerah
Semenanjung Malaka sampai Kedah. Hal itu erat hubungannya dengan usaha
penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan
internasional. Datangnya orang-orang muslim ke daerah itu sama sekali belum
memperlihatkan dampak-dampak politik, karena mereka datang memang hanya untuk
usaha pelayaran dan perdagangan. Keterlibatan orang-orang islam dalam bidang
politik baru terlihat pada abad ke-9 M, ketika mereka terlibat dalam
pemberontakan petani-petani Cina terhadap kekuasaan T’ang pada masa
pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889 M).
Akibat pemberontakan itu, kaum musimin banyak dibunuh. Sebagian lainnya lari ke
Kedah, wilayah yang masuk kekuasaan Sriwijaya, bahkan ada yang ke Palembang dan
membuat perkampungan muslim di sini.
Pembaruan dalam Islam atau gerakan
modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi
umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan
pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan
kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu, yang
terpenting puritanis (salafiyyah).
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana
kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan di Indonesia?
2. Bagaimana
saluran dan cara-cara islamisasi di Indonesia?
3. Bagaimana
perbedaan zaman modern dan kontemporer?
C.
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan rumusan
masalah diatas, maka tujuan pembahasan yaitu:
1. Untuk
mengetahui kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui saluran dan cara-cara islamisasi di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui perbedaan zaman modern dan kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi
Dan Situasi Politik Kerajaan-Kerajaan Di Indonesia
Cikal
bakal kekuasaan islam telah dirintis pada periode abad 1-5 H/7-8 M, tetapi
semuanya tenggelam dalam hegemoni maritin Sriwijaya yang berpusat di Palembang
dan kerajaan Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur. Pada
periode ini para pedagang dan mubalig muslim membentuk komunitas-komunitas
islam. Mereka memperkenalkan islam yang mengajarkan toleransi dan persamaan
derajat diantara sesame, sementara
ajaran Hindu-Jawa menekankan perbedaan derajat manusia.
Masuknya
islam kedaerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Di samping
itu, keadaan politik dan sosial budaya daerah-daerah ketika didatangi islam
juga berlainan. Pada abad ke-7 sampai ke-10 M, kerajaan Sriwijaya meluaskan
kekuasaannya kedaerah Semenanjung Malaka sampai Kedah. Hal itu erat hubungannya
dengan usaha penguasaan Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan
perdagangan internasional. Datangnya orang-orang muslim ke daerah itu sama
sekali belum memperlihatkan dampak-dampak politik, karena mereka datang memang
hanya untuk usaha pelayaran dan perdagangan. Keterlibatan orang-orang islam
dalam bidang politik baru terlihat pada abad ke-9 M, ketika mereka terlibat
dalam pemberontakan petani-petani Cina terhadap kekuasaan T’ang pada masa
pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889
M). Akibat pemberontakan itu, kaum musimin banyak dibunuh. Sebagian lainnya
lari ke Kedah, wilayah yang masuk kekuasaan Sriwijaya, bahkan ada yang ke
Palembang dan membuat perkampungan muslim di sini. Kerajaan Sriwijaya pada
waktu itu memang melindungi orang-orang muslim di wilayah kekuasaannya.[1]
Kemajuan
politik dan ekonomi Sriwijaya berlangsung sampai abad ke 12 M. pada akhir abad
ke-12 M, kerajaan ini mulai memasuki masa kemundurannya. Untuk mempertahankan
posisi ekonominya, kerajaan Sriwijaya membuat peraturan cukai yang lebih berat
bagi kapal-kapal dagang yang singgah ke pelabuhan-pelabuhannya. Akan tetapi
usaha itu tidak mendatangkan keuntungan bagi kerajaan, bahkan justru sebaliknya
karena kapal-kapal dagang asing seringkali menyingkir. Kemunduran ekonomi ini
membawa dampak terhadap perkembangan politik.
Kemunduran
politik dan ekonomi Sriwijaya dipercepat oleh usaha-usaha kerajaan Singasari
yang sedang bangkit di Jawa. Kerajaan Jawa ini melakukan ekspedisi Pamalayu
tahun 1275 M dan berhasil mengalahkan kerajaan Melayu di Sumatera. Keadaan itu
mendorong daerah-daerah di Selat Malaka yang dikuasai kerajaan Sriwijaya untuk
melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan tersebut.
Kelemahan
Sriwijaya dimanfaatkan pula oleh pedagang-pedagang muslim untuk mendapatkan
keuntungan-keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung daerah-daerah
yang muncul, dan daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan bercorak islam,
yaitu kerajaan Samudera Pasai di pesisir Timur Laut Aceh. Daerah ini sudah
disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M. proses
islamisasi tentu berjalan di sana sejak abad tersebut. Kerajaan Samudera Pasai
dengan segera berkembang baik dalam bidang politik maupun perdagangan.
Karena
kekacauan-kekacauan dalam negeri sendiri akibat perebutan kekuasaan di istana,
Kerajaan Singasari, juga pelanjutnya, Majapahit, tidak mampu mengontrol daerah Melayu
dan Selat Malaka dengan baik, sehingga kerajaan Samudera Pasai dan malaka dapat
berkembang dan mencapai puncak kekuasaannya hingga abad ke-16 M. [2]
Di
Kerajaan Majapahit, ketika Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada masih berkuasa,
situasi politik dan kerajaan memang tenang, sehingga banyak daerah di kepulauan
Nusantara mengakui berada di bawah perlindungnnya. Tetapi sejak Gajah Mada
meninggal dunia (1364 M) dan disusul Hayam Wuruk (1389 M), situasi Majapahit
kembali mengalami kegoncangan. Perebutan kekuasaan antara Wikramawhardana dan
Bhre Wirabumi berlangsung lebih dari sepuluh tahun.
B.
Saluran
Dan Cara-Cara Islamisasi Di Indonesia
Kedatangan
islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, dilakukan
secara damai. Apabila situasi politik suatu kerajaan mengalami kekacauan dan
kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana, maka
islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan atau pihak-pihak yang
menghendaki kekuasaan itu. Mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang muslim
yang posisi ekonominya kuat karena menguasai peayaran dan perdagangan. Apabila
kerajaan islam sudah berdiri, penguasanya melancarkan perang terhadap kerajaan
non islam. Hal itu bukanlah karena persoalan agama tetapi karena dorongan
politis untuk menguasai kerajaan-kerajaan di sekitarnya.
Menurut
Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada enam yaitu:
1. Saluran
Perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran islamisasi
adalah perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga
ke-16 M. Membuat pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, dan India) turut ambil
bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan timur
benua Asia. Saluran islamisasi melalui
perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta
dalam kegitan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham.
Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran islamisasi melalui
perdagangan ini di pesisir Pulau Jawa, Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa
para pedagang muslim banyak yang bermukiman di pesisir Pulau Jawa yang
penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendiirkan masjid-masjid
dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumah mereka menjadi banyak,
dan karenanya anak-anak muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya.[3]
2. Saluran
Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim
memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, terutama
puteri-puteri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu.
Sebelum kawin mereka diislamkan lebih dahulu. Setelah mereka mempunyai
keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya timbul kampong-kampung,
daerah-daerah dan kerajan-kerajan muslim. Dalam perkembangn berikutnya, adapula
wanita muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan
apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja
atau anak adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut
mempercepat proses islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat
atau Sunan Ngampel dengan Nyai Manila, Sunang Gunung Jati dengan puteri
Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja
pertama Demak) dan lain-lain.
3. Saluran
Tasawuf
Pengajar-pengajar tasawuf, atau para
sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas
oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai
kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga yang mengawini
puteri-puteri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” islam yang diajarkan
kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang
sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan
diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung
persamaan dengan alam pikiran Indonesian pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di
Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Pangggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini
masih berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.
4. Saluran
Pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui
pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan guru-guru agama,
kiyai-kiyai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu calon utama, guru
agama dan kiyai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampong
masing-masing atau berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan islam. Misalnya,
pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan
Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk
mengajarkan agama islam.
5. Saluran
Kesenian
Saluran islamisasi melalui kesenian yang
paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah
tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah
pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat
syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata
dan Ramayana, tetapi didalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama
pahlawan islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat islamisasi, seperti
sastera (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan, dan seni ukir.
6. Saluran
Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan,
kebanyakan rakyat masuk islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu.
Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di
samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi
kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non
Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk
kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.[4]
C.
Perbedaan
Zaman Modern dan Kontemporer
I . Gerakan Modern Islam (Asal Usul
dan Perkembangan)
Pembaruan dalam Islam atau gerakan
modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi
umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan
pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan
kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu, yang
terpenting puritanis (salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan
jembatan ke arah pembaruan Islam abad ke 20 yang lebih bersifat intelektual.
Katalisator terkenal gerakan pembaruan ini adalah Jamaluddin Al Afghani (1897).
Ia mengajarkan solidaritas PAN Islam dan pertahanan terhadap imperialisme
Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana secara ilmiah di modernisasi.
Gerakan ini telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di
Indonesia.
Memasuki abad ke -20 dinamika Islam
di Indonesia ditandai dengan muncul dan berkembangnya corak baru wacana dan pemikiran
Islam yang biasa disebut banyak ahli sebagai modernisme Islam. Kemunculan corak
baru wacana Islam ini tidak terlepas dari perkembangan al Afghani, Muhammad
Abdul, Rasyid Ridha dan lain-lain. Pemikiran yang dikembangkan para tokoh-tokoh
ini telah memberikan stimulus global bagi kemunculan gerakan modernisme Islam
di berbagai kawasan dunia Islam termasuk Indonesia. Bermula dari pembaruan
pemikiran dan pendidikan Islam di Minang Kabau, yang disusul oleh pembaruan
pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam
semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti
serikat dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Perserikatan Ulama
di Majalengka, Jawa Barat dan Solo (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912),
Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nadlatul Ulama (NU) di Surabaya
(1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Bandung, Bukittinggi
(1930); dan Partai-partai politik, seperti serikat Islam (SI) yang merupakan
kelanjutan dari SDI, persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang panjang
(1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi pendidikan
Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938. Sementara itu,
hampir pada waktu yang bersamaan, pemerintah penjajah menjalankan politik etis,
politik balas budi.
Demikian pula di kalangan Islam hal
itu mencerminkan kiprah dan perubahan alam pikiran yang secara dinamis
memberikan ide-ide alternatif dalam merespon orientasi politik orde baru yang
terkonsepsi dalam pembangunan. Pengembangan ide pokok-pokok “pembangunan” itu
identik dengan isumodernisasi dan bahkan dalam beberapa segi lebih
diasosiasikan sebagai “proses westernisasi” karena penekanan kuat pada pola
atau model pembangunan negara-negara barat. Ide tersebut pada gilirannya
mempengaruhi perubahan pemikiran keislaman kaum muslimin. Persoalan yang muncul
dikalangan Islam adalah bagaimana melihat ‘modernisasi’ dari kaca mata ajaran
Islam. Dari persoalan ini muncul gagasan-gagasan baru, terutama dari kalangan
intelektual dan pada gilirannya melahirkan pula model-model baru gerakan
keagamaan sebagai reaksi atas isu-isu pembangunan itu.
2. Kecenderungan Wacana Intelektual
Islam Kontemporer dalam Lembaga-lembaga Modern.
Formulasi doktrin Islam dan pemikiran
modern, yang menjadi ciri wacana Islam kontemporer adalah salah satu dampak
signifikan dari arus Islamisasi melalui jaringan intelektual timur
tengah-nusantara pada abad ke-17 dan 18, yang ditandai dengan proses
harmonisasi antara wacana Islam sufistik dan Islam syari’at. Arus modernisasi
ini kemudian memunculkan organisasi-organisasi Islam di abad ke-20, yang
sekaligus sering disebut sebagai ciri dari masyarakat Islam modern.
Lahirnya serikat dagang Islam,
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan juga Sumatra Thawalib dan sebagainya menjadi
wujud dari proses formulasi tersebut. Lahirnya organisasi atau gerakan-gerakan
sosial keagamaan, yang pada umumnya memiliki pemikiran-pemikiran
transformative, menjadi ciri dari munculnya masyarakat modern, ketika wacana intelektual
Islam pun menjadi lebih terbuka dan semakin bercorak plural. Dalam hal ini juga
tidak dapat diabaikan, upaya-upaya organisasi tersebut dalam melakukan
pembaruan pendidikan. Pendidikan tradisional melalui pesantren yang dulu hanya
diselenggarakan dengan sangat sederhana, kurang sistematis dan hanya
mempelajari ilmu-ilmu agama Islam saja kemudian diperbaharui dengan cara
mengembangkan pendidikan sekolah atau madrasah yang didalamnya diajarkan
mengenai ilmu-ilmu dunia yakni ilmu alam dan ilmu sosial. Di samping itu, sejak
dekade 1970-an, banyak bermunculan apa yang disebut intelektual muda muslim
yang meskipun sering kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan
ummat. Kebanyakan mereka adalah intelektual muslim berpendidikan yang terakhir
ini sangat mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa
Islam seperti himpunan mahasiswa Islam, pergerakan mahasiswa Islam Indonesia,
ikatan mahasiswa Muhammadiyah dan sebagainya. Selain itu, peranan dari
departemen agama yang telah banyak berjasa dalam membentuk dan mendorong
kebangkitan Islam, tidak boleh dilupakan. Dengan mendirikan beberapa
institut-institut Islam, Jepang sangat berjasa dalam menyiapkan guru-guru
agama, pendakwah dan mubaliq dalam kuantitas besar. Bahkan departemen agama
tutur berperan dalam memnbina madrasah dan pesantren-pesantren yang ada
diseluruh wilayah nusantara ini.
Dari beberapa insititusi atau
organisasi massa Islam yang masih eksis hingga saat ini, seperti Persis, Al
Irsyad, Jami’at Khair, dan beberapa nama di luar jawa, seperti Nahdlatul
Wathan, Sumatera Thawali, dan lain-lain, nampaknya hingga saat ini Muhammadiyah
dan Nahdlatul ulama, lebih banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ini juga tidak
lepas dari seringnya dua ormas tersebut diwacanakan dalam berbagai kajian
ilmiah, baik oleh ilmuwan lokal maupun internasional selain itu dua ormas Islam
terbesar di Indonesia tersebut juga memiliki struktur kepemimpinan yang sangat
hierarkis dari tingkat pusat di ibukota hingga ketingkat ranting di
kelurahan-kelurahan Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, harus diakui
pola peran dari organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok keagamaan Islam
yang juga aktif menyelenggarakan kajian-kajian, hanya saja menurut sebagian
orang mereka lebih sering memunculkan tema-team yang lebih bersifat politis,
bukan kajian murni yang bersifat ilmiah dan secara umum dianggap tidak
memformulasikan pemikiran-pemikiran transformative dalam menghadapi
persoalan-persoalan aktual, sehingga pemikiran-pemikiran mereka cenderung dianggap
sebagai wacana periforal.[5]
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Adapun simpulan dari
pembahasan ini yaitu:
1. Cikal
bakal kekuasaan islam telah dirintis pada periode abad 1-5 H/7-8 M, tetapi
semuanya tenggelam dalam hegemoni maritin Sriwijaya yang berpusat di Palembang
dan kerajaan Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur.
2. Kedatangan
islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, dilakukan
secara damai. Adapun saluran islamisasi yang berkembang yaitu saluran
perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.
3. Gerakan Modern Islam (Asal Usul dan
Perkembangan)
Pembaruan
dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap
krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya.
Kecenderungan Wacana Intelektual
Islam Kontemporer dalam Lembaga- lembaga
Modern.
Formulasi doktrin Islam dan pemikiran modern, yang menjadi
ciri wacana Islam kontemporer adalah salah satu dampak signifikan dari arus
Islamisasi melalui jaringan intelektual timur tengah-nusantara pada abad ke-17
dan 18, yang ditandai dengan proses harmonisasi antara wacana Islam sufistik
dan Islam syari’at
B.
Saran
Pembahasan
mengenai Islam di Indonesia dalam makalah ini yang telah dipaparkan di atas,
penyusun sadar bahwa masih terdapat kesalahan dan kekurangan didalamnya, karena
berbagai faktor yang bisa menyebabkan hal tersebut bisa terjadi. Untuk bisa
mengetahui letak kesalahan dan kekurangan tersebut diharapkan kepada para
pembaca untuk memberikan saran dan kritiknya, agar dapat menutupi kekurangan
dan meminimalisir kesalahan lagi dalam penulisan selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Cet. XIV; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.
http://inzpirasikuw.blogspot.co.id/2010/03/saluran-dan-cara-cara-islamisasi
di.html. diakses pada hari selasa tanggal 22 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar