KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikm Wr. Wb.
Alhamdulillah
dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah swt yang maha pengasih dan
penyayang yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayahnya kepada kami,
sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tentang “Perkawinan Menurut
UU No.1 Tahun 1974 dan Menurut Hukum Islam”
Makalah ini
merupakan salah satu tugas yang di berikan kepada kami dalam rangka
pengembangan dasar ilmu Hukum Perdata yang berkaitan dengan perkawinan. Selain
itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan tentang
pengetahuan hukum secara meluas. Sehingga besar harapan kami, makalah yang
kami sajikan dapat menjadi konstribusi positif bagi pengembang wawasan pembaca.
Akhirnya
kami menyadari dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati kami menerima kritik dan saran agar
penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Semoga makalah ini
memberi manfaat bagi banyak pihak. Amiin.
Wassalamu’alikum Wr. Wb.
Bone,
06 Oktober 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Kata Pengantar i
Daftar isi ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 3
B. Perkawinan Menurut Hukum Islam 8
BAB
III PENUTUP
A. Simpulan 14
B. Saran 15
Daftar
Rujukan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan
merupakan hal yang sangat penting dalam masyarakat. Dalam agama islam sendiri
perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW, dimana setiap umatnya dituntut
untuk mengikutinya. Perkawinan dalam islam sangat dianjurkan, agar dorongan
terhadap biologis dan psikisnya dapat tersalurkan secara halal, dengan tujuan
untukmenghindari diri dari perbuatan zina. Anjuran untuk menikah telah diatur
dalam sumber ajaran islam yaitu Al-qur,an dan Al-hadist. Dalam
hadist yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah
bin Mas’ud”, Rasulullah SAW bersabda : [1]
"Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu yang sudah sanggup untuk
kawin maka kawinlah, karena hal itu akan menjadi obat dan menahan pandangan dan
memelihara kemaluan. Barangsiapa yang tidak sanggup maka hendaklah ia berpuasa,
karena puasa dapat menjadi benteng."
Dari hadist di atas dapat kita pahami bahwa Rasulullah
menganjurkan untuk kawin bagi pemuda yang sudah sanggup. Kesanggupan yang
dimaksud adalah kesanggupan fisik dan mental. Jika dikaitkan dengan perkawinan
anak yang belum matang secara fisik dan mentalnya. Jelas persyaratan tersebut
mereka miliki. Maka solusinya mereka harus menahan diri terlebih dahulu.[2]
Selain diatur
dalam Al- Qur’an dan Hadist
Nabi, perkawinan menurut hukum islam diatur pula dalam intruksi presiden No. 1 Tahun 1991 tentang kompilasi
hukum islam, yaitu dari Pasal 1 sampai dengan 170 KHI[3].
Di Indonesia
sendiri telah terdapat hukum nasional yang mengatur dalam bidang hukum
perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk itu dalam
makalah ini akan membahas tentang hukum perkawinan menurut UU NO. 1 Tahun 1974
dan menurut Hukum Islam
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka ditetapkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana hukum perkawinan
menurut UU No. 1 Tahun 1974?
2.
Bagaimana hukum perkawinan menurut hukum islam?
C. Tujuan Penulisan
Segala sesuatu
yang dilakukan manusia pasti memiliki tujuan, demikian pula dengan makalah ini.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Untuk mengetahui hukum perkawinan
menurut UU No. 1 Tahun 1974.
b.
Untuk mengetahui hukum perkawinan
menurut hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974
1.Pengertian Perkawinan
Perkawinan
sangat penting di dalam pergaulan masyarakat, karena dari ini yang kemudian
melahirkan anak keturunan, merupakan sendi yang utama bagi pembentukan negara
dan bangsa. Jika dalam perkawinan tidak ada aturan yang jelas maka hidup
bersama dalam keluarga akan kacau, ini akan menimbukkan rusak dan kacaunya
bangunan masyrakat.
Dalam UU No. 1
Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasrkan ketuhanan Yang Maha
Esa.[4]
Dari pengertian
diatas init dari perkawinan adalah melakukan perjanjian untuk menghasilkan
ikatan yang halal antara pria dan wanita sehingga terwujud keluarga yang baik.
2.
Syarat – Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 UUP, perkawinan sah jika dilakukan
menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaanya, setiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundangan – undangan yang berlaku. Selanjutnya
menurut pasal 6 UUP, syarat – syarat perkawinan adalah:[5]
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai
b. Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.
c. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam
garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya,
e. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang tua,
wali, atau keluarga dalam garis lurus keatas, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsunkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan
izin setelah lebih dahulu mendengar
orang – orang tersebut.
f. Ketentuan pasal ini berlaku sepanjang hukum masing –
masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
Dari syarat-syarat tersebut di atas maka hukum agama
menjadi pedoman utama dalam menentukan syarat sah perkawinan. Hal ini
diperjelas pada point “F”. Fungsi dari syarat- syarat hukum perkawinan menurut UU sebagai penguat
sahnya suatu perkawinan dimata hukum Negara.
Dalam UUP Pasal 7 ayat 1 bahwa perkawinan hanya di
izinkan bila pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai 16 (Enam belas) tahun. Berdasarkan pasal tersebut sudah
jelas bahwa seorang dapat melangsunkan perkawinan apabila sudah mencapai batas
umur yang ditentukan.[6]
3. Larangan Perkawinan
Menurut Pasal 8 UUP, perkawinan dilarang
antara dua orang yang,[7]
a.
Berhubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke bawah ataupun keatas.
b.
Berhubungan darah dalam garis
keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c.
Berhubungan semenda, yaitu
mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d.
Berhubungan susuan, yaitu
orangtua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi / paman susuan.
e.
Berhubungan saudara dengan istri
atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri
lebih dari seorang.
f.
Mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
4. Perjanjian Perkawinan
Mengenai
perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 UUP adalah sebagai berikut:[8]
a.
Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
b.
Perjanjian tersebut tidak dapat
disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
c.
Perjanjan tersebut berlaku sejak
perkawinan dilangsunkan.
d.
Selama perkawinan berlangsung,
perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila kedua belah pihak ada
pesetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
5. Pencegahan Perkawinan
Ketika terdapat
syarat yang tidak sesuai maka dapat dilakukan pencegahan untuk dilakukan perkawinan.
Orang yang dapat melakukan pencegahan sudah diatur dalam UUP.
Pencegahan yang dimkasud yaitu perkawinan belum
terlaksana, pencegahan didalam UUP dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak
memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan. Pasal 14 ayat (1): yang dapat
mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan
ke bawah, saudara, wali nikah, walih pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak- pihak yang berkepentingan. Ayat
(2): mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan, apabila salah seorang dari calon mempelai berada
dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata
mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainya, yang mempunyai
hubungan hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.[9]
Maksud dari ayat
(2) orang-orang yang dibawah pengampuan adalah orang-orang yang meski sudah
dewasa tapi karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak dapat mengurus diri
sendiri ataupun orang lain. Sehinggga ketika melakukan perkawinan dapat membuat
kesengsaraan bagi calon mempelainya.
6. Putusnya Perkawinan
Dalam pasal 199 KUH Perdata disebutkan
ada empat cara pemutusan perkawinan, antara lain:[10]
a.
Karena kematian
b.
Karena keadaan tak hadir si suami
atau si istri, selama 10 tahun diikuti dengan perkawinan baru istri atau
suaminya
c.
Karena putusan hakim setelah ada
perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam
putusan itu dalam register catatan sipil atau BS (Burgelijk Stand)
d.
Karena perceraian
Dalam
UUP Pasal 38 dijelaskan perkawinan dapat putus karena:[11]
a.
Kematian
b.
Perceraian
c.
Atas keputusan pengadilan
B. Perkawinan
Menurut Hukum Islam
1.Pengertian
Perkawinan
Dari sudut ilmu
bahasa kata perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari
bahasa arab “nikah”. Kata nikah mengandung dua pengertian, yaitu dalam arti
yang sebenarnya (haqikat) berarti berkumpul dan dalam arti kiasan
berarti aqad atau mengadakan perjanjian perkawinan. Menurut hukum islam
yang dimaksud dengan perkawinan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci
antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri
dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh
kasih sayang, kebajikan dan saling menyatuni, kebajikan dan saling menyantuni,
keadaan yang lazim disebut sakinah.[12]
Rasululullah SAW
juga sangat menganjurkan umatnya untuk menikah, dalam hadist yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah, Rasullullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut:
“Nikah itu sunnahku, barangs siapa
yang tidak suka, bukan golonganku” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a)[13]
2.
Syarat – Syarat Sahnya Perkawinan
Perkawinan
dikatakan sah ketika memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat sah perkawinan adalah hal – hal yang harus
dipenuhi untuk melakukan perkawinan.
Sahnya
perkawinan merupakan hal yang penting karena berhubungan erat dengan akibat –
akibat pernikahan, baik yang menyangkut keturunan maupun harta, bila pernikahan
dinyatakan sah, Hukum Islam menentukan sahnya perkawinan kepada tiga syarat
yaitu:[14]
a.
Dipenuhnya semua rukun nikah
b.
Dipenuhnya syarat-syarat nikah
c.
Tidak melanggar larangan
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Larangan Perkawinan
Menurut Hasan Basri aqad nikah merupakan
upacara sakral, karena mengikat kedua belah pihak, yaitu istri dan calon suami.
Dan pernikahan akan batal, apabila:[15]
a.
Suami melakukan pernikahan,
sedang ia tidak berhak melakukan aqad nikah karena sudah mempunyai empat
orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam ‘iddah talak
raj’i
b.
Seseorang menikahi bekas istrinya
yang telah dili’annya
c.
Seorang menikahi bekas istrinya
yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut
pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari
pria tersebut dan telah habis masa iddahnya
d.
Pernikahan dilakukan antara dua
orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusun sampai derajat
tertentu.
Kompilasi Hukum
Islam yang mengatur tentang larangan perkawinan diatur dalam Pasal 39 sampai
dengan Pasal 44, yaitu sebagai berikut[16]
a.
Dilarang melangsunkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena:
1)
Pertalian nasab, yaitu
a)
Dengan seorang wanita yang
melahirkan atau yang menurunkanya atau keturunannya.
b)
Dengan seorang wanita keturunan
ayah atau ibu.
c)
Dengan seorang wanita saudara
yang melahirkannya.
2)
pertalian kerabat semenda, yaitu
a)
dengan seorang wanita yang
melahirkan istrinya atau bekas istrinya.
b)
Dengan seorang wanita bekas istri
orang yang menurunkanya
c)
Dengan seorang wanita keturunan
istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas
istrinya itu qobla al dukhul
d)
Dengan seorang wanita bekas istri
keturunannya
3)
Pertalian sesusuan, yaitu
a)
dengan wanita yang menyusuinya
dan seterusnya menurut garis lurus keatas
b)
dengan seorang wanita sesusuaan
dan seterusnya menurut garis lurus kebawah
c)
dengan seorang wanita saudara
sesusuan, dan kemanakan sesusuan kebawah
d)
dengan seorang wanita bibi
sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas
e)
dengan anak yang disusui oleh
istrinya dan keturunanya
b.
pasal 40 KHI, dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu:
1)
karena wanita yang
bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain
2)
seorang wanita yang masih berada
dalam idah dengan pria lain
3)
seorang wanita yang tidak
beragama islam.
c.
Pasal 41 KHI , seorang pria
dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau susuan dengan istrinya.
d.
Pasal 42 KHI, seorang pria
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut
sedang mempunyai 4 orang istri yang keempat- empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam idah talak raf’i ataupun salah seorang
diantara mereka masih terikat tali
perkawinan sedang yang lainya masih dalam masa idah talak raf’i
e.
Pasal 43 KHI, dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita:
1)
bekas istrinya yang tiga kali
2)
bekas istri yang dili’an
f.
pasal 44 KHI, seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.
4. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian
perkawinan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsunkan dan masing-masing pihak akan
berjanji untuk menaati apa yang tersebut dalam hal persetujuan itu dan disahkan
oleh pegawai pencatat nikah. Dalam Hukum Islam kedua calon mempelai yang akan
melangsunkan pernikahan dapat mengadakan suatu perjanjian dalam beberapa
bentuk, yaitu:[17]
a.
Taklik Ta’lak. Taklik adalah
perjanjian atau pernyataan yang berkenan dengan perkawinan. Sementara taklik
talak adalah pernyataan jatuhnya talak atau cerai sesuai dengan janji yang
telah diucapkan karena melanggar janji perkawinan. Lebih jelasnya, taklikk ta’lak
adalah suatu perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah aqad nikah
yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantunkan kepada
suatu keadaan tertentu yang mungkin
terjadi dimasa yang akan datang.
b.
Perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum islam. Antara lain adalah perjanjian yang mengatur
tentang harta perkawinan.
5. Pencegahan Perkawinan
Sedangkan
menurut Hukum Islam penjegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu
perkawinan yang dilarang hukum islam dan peraturan perundang-undangan. Pencegahan
perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan
melangsunkan perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan,
tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan,
kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama.
Pernikahan beda
agama memang menjadi masalah di Indoneia karena ini tidak dijelaskan dalam UUP
namun agama islam melarang ummatnya melakukan pernikahan dengan yang memiliki
agama berbeda denganya. Akan muncul pertanyaan lalu bagaimana apabila ada orang
yang akan meminang pujaan hatinya yang memiliki keyakinan berbeda denganya?
Abdurahman dalam
Kompendium Bidang Hukum Perkawinan mengatakan cara yang dapat ditempuh oleh
mereka yang akan melaukan perkawinan beda agama yaitu: salah-satu dari pasangan
mengikuti agama pasanganya dan menikah menurut agama menurut agama dari
pasangannya tersebut.[18]
6. Putusnya Perkawinan
Perkawinan dapat
putus dalam KHI Pasal 113 karena
kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian( Pasal 114 KHI). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak( Pasal 115 KHI). Perceraian itu terjadi
terhitung pada saat pereceraian itu
dinyatakan di depan sidang pengadilan (Pasal 123 KHI).[19]
Menurut syariat
islam berakhirnya sebuah perkawinan dalam keadaan suami masih hidup, dapat
terjadi atas kehendak suami dengan melalui thalaq, illa’, lian, dan Zihar.
Sedangkan berakhirnya perkawinan atas kehendak istri dapat terjadi melalui
Khulu’, yaitu salah satu cara melepaskan ikatan
perkawinan yang datangnya dari pihak isteri dengan kesediaanya membayar
tebusan.[20]
Ketika
keharmonisan dan ketentraman dalam keluarga antara suami dan istri tidak dapat
tereliasisaikan, maka akan timbul suatu kesenjangan dan keretakan bahkan bisa
mecapai ketaraf perceraian antara suami dan istri. Perceraian inilah yang
mengakibatkan putusnya tali perkawinan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974, Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasrkan ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut pasal 2 UUP, perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing
– masing agamanya dan kepercayaanya, setiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundangan – undangan yang berlaku. Selanjutnya syarat- syarat
sahnya perkawinan dijelaskan dalam pasal 6
UUP,
larangan perkawinan dijelaskan dalam UUP Pasal 8, lebih lanjut tentang
pencegahan perkawinan diatur dalam UUP Pasal 14, dan sebab-sebab putusnya
perkawinan dijelaskan dalam UUP Pasal 38.
2. Perkawinan
menurut Hukum Islam, perkawinan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci
antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri
dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh
kasih sayang, kebajikan dan saling menyatuni, kebajikan dan saling menyantuni,
keadaan yang lazim disebut sakinah. Syarat – syarat sahnya perkawinan
ada 3, dipenuhnya semua rukun nikah, dipenuhnya syarat-syarat nikah, tidak
melanggar larangan perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Larangan perkawinan diatur dalam KHI Pasal 39 sampai dengan Pasal 44,
Perjanjian perkawinan ada dua yaitu Taklik talak dan perjanjian yang tidak
bertentangan dengan hukum islam, penjegahan perkawinan bertujuan untuk
menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum islam dan peraturan
perundang-undangan. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau
calon istri yang akan melangsunkan perkawinan menurut hukum
islam dan peraturan perundang-undangan,
tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan,
kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama, dan Perkawinan dapat
putus dalam KHI Pasal 113 karena
kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
B. Saran
Mengkaji tentang
hukum perkawinan menurut UU dan menurut hukum islam sangat menarik, saran
penulis materi ini dapat dijadikan penelitian ilmiah, apa lagi tentang
perkawinan dibawah umur.
DAFTAR
RUJUKAN
Ainani Ahmad, “ItsbatI Nikah
dalam Hukum Perkawinan di Indonesia”, Jurnal Darussalam, Vol. 10, No. 2,
Juli – Desember 2016.
APWA(Ar-Rahman Pre Wedding Academy
“Menyemai Fondasi Keluarga Indonesia”), Dalil Nkah, www.apwa.wordpress.com/perpustakaan/dalil-nikah/
diakses Jum’at 06 Oktober 2017 pukul 08.02 WITA
Ashsubli Muhammad,” Undang-Undang
Perkawinan dalam Pluralitas Hukum Agama “ Jurnal Cita Hukum. Vol.3 No.
2, Desember 2015.
Atabik Ahmad, dkk, “Pernikahan
dan Hikmahnya Persfektif Hukum Islam”, Yudisia, Vol. 5, No. 2, Desember
2014.
Loresta Cahyaning Lintang, dkk. “Perkawinan Dibawah Umur dalam Hukum
Adat Bali Ditinjau dari UU No. 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak”, Vol. III, No. 2, Oktober 2015.
Mardani Sofia, “Analisis
Tentang Batas Umur untuk Melangsunkan
Perkawinan Menurut Perundang-Undangan di Indonesia”, An- Nida, Jurnal
Pemikiran Islam, Vol. 40, No. 2 Juli – Agustus 2017.
Nurhafidza Alya, ”Perjanjian Perkawinan
Menurut Hukum Islam”,Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar
Lampung, 2017
Simanjutak, Hukum Perdata
Indonesia . Cet. I; Jakarta: Kencana, 2015.
Soimin Soedaryo, “Hukum Orang dan
Keluarga Persfektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam< dan Hukum Adat”
. Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2002
Subekti Trusto, “Sahnya Perkawinan Menurut Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Ditinjau dari Hukum Perjanjian”, Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwakerto, Jurnal Dinamika Hukum.
Vol. 10, No. 3, September 2010.
Yuliatin,”Implementasi Kompilasi
Hukum Islam dalam Hitungan Thalaq terhadap Cerai Khulu” , Al- Risalah,
Jurnal Kajian Hukum Islam. Vol. 12, No.1 Juni 2012.
[1]Sofia Mardani, “Analisis
Tentang Batas Umur untuk Melangsunkan
Perkawinan Menurut Perundang-Undangan di Indonesia”, An- Nida, Jurnal
Pemikiran Islam, Vol. 40, No. 2 Juli – Agustus 2017, h. 136.
[2]Sofia Mardani, “Analisis
Tentang Batas Umur untuk Melangsunkan
Perkawinan Menurut Perundang-Undangan di Indonesia”, h.136.
[3]Simanjutak, Hukum Perdata Indonesia (Cet. I;
Jakarta: Kencana, 2015), h. 78
[4]Ahmad Ainani, “ItsbatI
Nikah dalam Hukum Perkawinan di Indonesia”, Jurnal Darussalam, Vol. 10, No.
2, Juli – Desember 2016
[6]Loresta Cahyaning Lintang, dkk. “Perkawinan Dibawah
Umur dalam Hukum Adat Bali Ditinjau dari
UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”, Vol. III, No. 2,
Oktober 2015, h.38.
[9]Soedaryo
Soimin, “Hukum Orang dan Keluarga Persfektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum
Islam dan Hukum Adat” (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2002) h.16.
[10]Soedaryo
Soimin, “Hukum Orang dan Keluarga Persfektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum
Islam< dan Hukum Adat” h.26.
[12]Trusto Subekti,
“Sahnya Perkawinan Menurut Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Ditinjau dari Hukum Perjanjian”,
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwakerto, Jurnal Dinamika
Hukum. Vol. 10, No. 3, September 2010, h.333
[13]APWA(Ar-Rahman
Pre Wedding Academy “Menyemai Fondasi Keluarga Indonesia”), Dalil Nkah, www.apwa.wordpress.com/perpustakaan/dalil-nikah/ diakses Jum’at
06 Oktober 2017 pukul 08.02 WITA
[14]Ahmad Ainani, “ItsbatI
Nikah dalam Hukum Perkawinan di Indonesia”, h.118.
[15] Ahmad Atabik,
dkk, “Pernikahan dan Hikmahnya Persfektif Hukum Islam”, Yudisia, Vol. 5,
No. 2, Desember 2014, h. 11.
[17]Alya
Nurhafidza, ”Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Islam”, (Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2017),h. 46.
[18]Muhammad
Ashsubli,” Undang-Undang Perkawinan dalam Pluralitas Hukum
Agama “ Jurnal Cita Hukum. Vol.3 No. 2, Desember 2015. h. 292.
[20]Yuliatin,”Implementasi
Kompilasi Hukum Islam dalam Hitungan Thalaq terhadap Cerai Khulu” , Al-
Risalah, Jurnal Kajian Hukum Islam. Vol. 12, No.1 Juni 2012.h. 111.